Friday, 7 February 2014

Teori Kesamaan didepan Hukum

Teori Kesamaan didepan Hukum (Equality Before The Law) Dalam Konteks Keadilan  Kesamaan masyarakat didepan hukum yang memiliki arti bahwa pelaku kejahatan dalam pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan khususnya tindakan diskriminatif seharusnya dapat diadili dalam suatu wadah Pengadilan HAM, karna sama-sama merupakan suatu perbuatan pelanggaran HAM sesuai yang di jelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum (equality before the law) dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) setiap orang berhak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. kemudian dipertegas kembali dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil. 

John Rawls merumuskan dengan prinsip the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak). Prinsip the greatest equal principle, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. 

Pandangan Rawls tersebut memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Maka beranjak dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM ringan sudah seharusnya dapat di adili di pengadilan HAM sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM sebagai kesamaan di depan hukum (equality before the law), akan tetapi bukan pelanggaran HAM berat saja yang kemudian dapat untuk diadili di pengadilan HAM. Sehingga terlihat adanya suatu keadilan dalam menerapkan aturan hukum sebagai tujuan dari pada hukum itu sendiri. 

Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”. 

Selanjutnya dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). 

Lebih lanjut, John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik. 

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak samaan yang dialami kaum lemah. 

Pada hakikatnya setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar kelompok ras dan etnis dalam mayarakat dan negara. 

Dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Right) tahun 1948 menjelaskan, bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. 

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup (why of life) bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasa Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hukum dasar (groundwet) yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, yakni kemanusian yang adil dan beradab. Jika demikian bagaimana pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berlaku umum yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum positif Indonesia. Secara konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan, kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Sehingga masyarakat hukum itu mengatur kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared value) atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu. 

Frederick Julius Stahl, menyebutkan bahwa suatu negara hukum formal harus memenuhi empat unsur penting, salah satunya ialah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Artinya suatu negara hukum wajib menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia yang telah melekat pada diri manusia sebagai kodrati yang diciptakan Allah Swt. 

Menurut ajaran negara hukum Immanuel Kant berpendapat, negara hukum bertugas melindungi kebebasan dan hak pokok tiap orang yang ada di daerahnya, perlindungan tersebut tidak hanya memuat tindakan-tindakan pasif. Negara hukum juga harus bertindak secara aktif, seperti membatasi persaingan di bidang ekonomi, sehingga kesejahtraan dan keadilan sosial dapat terjamin. Hak asasi manusia pada hakekatnya melekat pada individu atau kelompok manusia secara kodrati dari sejak dalam kandungan, dilihat dari kodrat manusia itu sendiri maka HAM sudah ada sejak manusia ada. Namaun HAM menjadi pembicaraan serius setelah banyaknya kejadian-kejadian yang melanggar kodrat manusia itu sendiri semenjak perang dunia ke II dan pembentukan PBB pada tahun 1945. 

Sehingga pada abad ke-17 HAM berkembang lagi dimana John Locke (filosof Inggris) menyatakan bahwa individu-individu sebagai manusia mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Kemudian Abad 18-19 HAM semangkin kuat posisinya dengan berbagai pernyataan-pernyataan pimpinan-pimpinan dunia seperti Thomas Jefferson, George Washington dalam perjanjian pendirian PBB, semua negara bersepakat untuk melakukan langkah-langkah baik secara bersama-sama maupun terpisah untuk mencapai “universal respect for and observance of human rights and fundamental freedom for all without disctruction as to rase, set language or releigion”. Dengan dideklarasikannya Piagam PBB “Universal Declaration Of Human Right” pada tanggal 10 Desember 1948, masalah Hak Asasi Manusia menjadi perhatian dunia, dimana pada saat itu pengaruh dan kekuasaan negara-negara penjajah terhadap negara jajahan masih dominan dengan mengabaikan hak asasi manusia. 

Maka pada Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjelaskan: 

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dicanangkan dalam deklarasi, tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain, kewarganegaraan atau asal usul sosial, kekayaan, keturunan atau status lainnya. Selanjutnya, tidak boleh ada pembedaan orang berdasarkan status politik, yuridiksional atau internasional yang dimiliki negara asalnya, yang independen, yang berada dibawah pemerintahan, atau yang berada dibawah pembatasan kedaulatan lainnya”. 


Masalah HAM di Indonesia telah dibicarakan mulai dari jaman Kartini pada abad 19 yang menuntut bahwa wanita juga meeempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan dan lain-lain yang selanjutnya sekarang ini dikenal dengan emansipasi wanita. 

Kemudian HAM dibicarakan 20 Mei 1908 disebut sebagai kebangkitan Nasional yang diprakarsai Soetomo, sebelumnya HAM juga pernah diseminarkan di Bandung pada tahun 1967 yang dikenal dengan seminar Nasional Hak Asasi Manusia. Seterusnya pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu dikenal dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan 18 Agustus adalah penetapan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara, lalu tahun 1950 untuk memberlakukan UUDS 1950 dan kemudian kembali kepada UUD 1945, memang kejadian-kejadian tersebut di atas tidak khusus membicarakan HAM namun di dalamnya terkandung perjuangan dan perlindungan terhadap Hak asasi Manusia. 

Sehingga dalam Undang-Undang Dasar 1945 di jelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Maka di Indonesia masalah hak asasi manusia sebenarnya bukanlah hal yang baru karena dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum (equality before the law) dan menjamin hak asasi manusia. 

Mengutip pendapat A.V.Dicey, bahwa konsep negara hukum (the rule of law), memiliki unsur-unsur diantaranya: 
  1. Supremasi hukum, bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum). 
  2. Persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap orang. 
  3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia, dan jika hak-hak asasi itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi. 
Secara normatif bahwa HAM di Indonesia telah ada sejak tahun 1993 melalui Keppres Nomor 50/90 tentang Komisi Hak Asasi Manusia, kemudian oleh MPR memberi perhatian yang sangat serius tentang masalah HAM sehingga pada tahun 1998 MPR membuat ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Untuk menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut, lalu dibentuk suatu pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 sebagai amanat dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. 

Maka dilihat dari ruang lingkup subtansi HAM yang terkandung didalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 hanya mengatur pelanggaran HAM berat sedangkan Undang-undang No. 39 tahun 1999 mengatur pelanggaran HAM pada umumnya, misalnya saja seperti pelanggaran tindakan diskriminatif. Sehingga masih adanya keranjauan yang termuat didalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM tersebut yang menitik beratkan terhadap pelanggaran HAM berat saja yang dapat di adili di pengadilan tersebut, yang kemudian beberapa kasus HAM diluar dari itu tidak dapat untuk di adili, dan ini yang menunjukkan bahwa adanya ketidak pastian hukum dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan. 

Mengutip Pasal 6 dan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan yang sama sebagai seorang manusia di muka hukum di mana pun ia berada” (Pasal 6), dan “Semua orang berkedudukan sejajar di muka hukum dan berhak atas perlindungan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apa pun. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama dari segala diskriminasi yang melanggar deklarasi dan dari segala dorongan bagi diskriminasi semacam itu” (Pasal 7). 

Kemudian dalam menerapkan Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis, yang kemudian diberlakukannya dengan cara dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2010 tentang tata cara Pengawasan terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, sehingga pemerintah juga memiliki peranan penting untuk melindungi dan mengawasi terhadap pelanggaran diskriminasi tersebut yang merupakan sebagai pelanggaran Hak asasi manusia. Dalam hal ini, sebagai peraturan hukum haruslah pula memiliki azas kepastian hukum sebagai dasar untuk menerapkan sanksi bagi pelaku tindakan diskriminatif yang dapat merugikan orang lain, yang kemudian adanya suatu peraturan yang secara tegas menyatakan bahwa diskriminasi sudah selayaknya dapat diadili di pengadilan HAM sebab diskriminasi termasuk sebagai pelanggaran hak asasi manusia sesuai dalam Undang-Undang HAM. Merujuk kepada Undang-Undang Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000 hanya menjelaskan secara tegas bahwa perkara HAM berat saja yang dapat untuk di adili di pengadilan tersebut. Artinya bahwa masih adanya tindakan yang jauh dari kepastian hukum dalam menerapkan Undang-Undang tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. 

Selanjutnya diskriminasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan International convention on the elimination of all forms of racial dicrimination 1965 atau disebut sebagai (konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Diskriminasi Rasial, 1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 83, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852). Arinya tindakan diskriminasi sudah menjadi issue penting yang harus dikaji dalam penerapan sanksinya yang dapat menitik beratkan pelanggaran HAM yang secara sistematis sering terjadi di kanca Nasional maupun Internasional. 

No comments:

Post a Comment