Contoh Penegakan Hukum yang lemah di Indonesia
Lemahnya Penegakan Hukum Di Tanah Air Kantor Departemen Kehutanan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, panas. Itu tak hanya disebabkan terik matahari yang menyengat ubun-ubun, tapi juga ribuan demonstran dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Menteri Kehutanan Malam Sambat bahkan berebut mikrofon dengan para pendemo. Pemerintah, tampaknya, tak ingin namanya jatuh dan dianggap tidak pro-lingkungan. Demonstrasi tidak serta-merta menyelesaikan masalah, tapi justru menambah problem baru. Sejumlah akademisi, aktivis lingkungan, dan ahli hukum mencoba mencari jalan lain.
Petang kemarin mereka berkumpul di Hotel Santika, Jakarta. Dalam acara yang dihelat Aliansi Nasional Reformasi untuk Reformasi KUHP itu, mereka berharap hukum lingkungan ditegakkan melalui undang-undang baru yang sedang disusun. Format itu perlu dipertegas. Sebab, eksploitasi lingkungan yang selama ini terjadi, rakyat kecil selalu menjadi korban. Sederet catatan masalah lingkungan terbukti tak banyak memihak rakyat kecil. Kasus Lapindo yang berlarut-larut hingga kini belum menunjukkan hasil yang memuaskan rakyat kecil. Sejumlah pelanggaran HAM juga terjadi. Demikian pula perusakan hutan akibat penebangan liar (illegal logging) di berbagai tempat di tanah air, yang menerima dampak buruknya adalah rakyat kecil. Permasalahan lingkungan tak akan selesai tanpa upaya penindakan hukum pidana secara tegas. Kalau hanya mengandalkan Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, itu tidak cukup, ujar pengacara Rino Subagyo. Pengacara senior yang sedang menangani kasus Newmont versus Walhi itu ragu jika UU 23/97 mampu melawan korporasi yang sangat kuat. Rino mencontohkan, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo dan penambangan Newmont di Teluk Buyat, Sulawesi.
Mereka bisa menciptakan opini publik yang sangat kuat, bahkan humasnya mampu memengaruhi media massa, katanya. Bahkan, lanjut Rino, dirinya saat ini menjalani gugatan hukum terkait kasus Newmont melawan Walhi yang sedang ditangani. Jadi, sudah salah kaprah, yang membela lingkungan justru harus siap menanggung risiko, tuturnya. Dalam acara tersebut, Aliansi Nasional untuk Reformasi KUHP juga menghadirkan Asep, warga kaki Gunung Halimun, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Saat diminta memaparkan kondisi terakhir di kampung halamannya, Asep yang memakai baju petani itu menangis. Kami juga sama dengan Lapindo Pak, bahkan tiga kali wanita di desa kami melahirkan di jalanan, ujarnya. Menurut Asep, ada sebuah perusahaan tambang yang selama ini menangguk keuntungan di kaki Gunung Halimun.
Mereka kaya raya, tapi kami tak mendapat apa-apa, bahkan jalan menuju Bogor saja sulit sekali, kata Asep dengan logat Sunda yang lugu. Ahli hukum Bernadinus Steny Susilaningtyas membesarkan hati Asep. Steny optimistis, jika Rancangan Undang-Undang KUHP lebih sempurna, kasus-kasus seperti yang dialami Asep tak akan terjadi lagi. Sayang, pemidanaan hanya mengatur masalah denda dan penjara, tukasnya. Membayar denda atau menginap di hotel prodeo, kata Steny, tidak menjamin fungsi dan perannya kembali. Apalagi denda, berapa sih nilai satu miliar dibandingkan aset mereka yang triliunan rupiah, tegasnya. Yang kedua, pidana dengan pemberatan dalam tindak pidana lingkungan hidup hanya ditujukan terhadap pidana lingkungan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
Padahal, gunung rusak atau tanah warga yang hilang itu juga sesuatu yang berat dan harus dihitung serta digantikan suatu upaya hukum pidana, ujar Steny. Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara menambahkan, pembentukan RUU KUHP harus mengedepankan perlindungan hak asasi manusia. Terutama bagi korban yang kehilangan hak-hak hidupnya,lanjutnya. Garuda mencontohkan, dalam kasus Lapindo, pemihakan HAM kurang diperhatikan. Pemerintah lebih fokus pada ganti Lapindo, pemihakan HAM kurang diperhatikan. Pemerintah lebih fokus pada ganti rugi secara ekonomi dan kurang peduli pada hak-hak asasi warga yang terpinggirkan.
No comments:
Post a Comment