Friday, 14 February 2014

Sejarah Hukum Peradilan Militer Di Indonesia

A. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama 'Krijgsraad' dan 'Hoog Militair Gerechtshof', hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.

Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil ya
http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/ng anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.

Krijgsraad terdapat di kota; Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi:

Cimahi : Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung,Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok.

Padang :Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur, Makassar: Sulawesi, Maluku dan Timor.
Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta.

Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati. Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan:
  • Sinbankan; hakim yang memberikan putusan
  • Yosinkan; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
  • Kensatakun; Jaksa
  • Rokusi; Panitera
  • Keiza; Penjaga terdakwa

B. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)..
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer. Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata RI. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer. Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara pidana guna peradila Tentara.

Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Agung.

Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
1. Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3. Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.

Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah. Mahkamah Tentara Agung; pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara:
- Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
- Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
- Perselisihan kewenangan antara mahkamah-mahkamah tentara

Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara. Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran. Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini mengatur peradilan tentara dengan susunan:
1.Mahkamah Tentara.
2.Mahkamah Tentara Tinggi
3.Mahkamah Tentara agung

Dengan demikian sistem peradilan dua tingkat yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing kewenangan;
  • Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
  • Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
  • Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan; Darat, Laut, Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam PP tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentatara;
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung

Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1946 dan peraturan pemerintah No. 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut:
1. KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
2. KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
3. KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)

Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah. Peradilan militer khusus ini meliputi:
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
2. Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).

Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua terhadap negara RI.  Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda.

Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan tersebut memuat tentang:
1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
3. Mahkamah Luar Biasa
4. Cara menjalankan Hukuman Penjara.

Selanjutnya dalam makalah ini penulis akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan militer. Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
  1. Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
  2. Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten
  3. Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi. Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara Agung

Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas:
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan penggantian formil saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat, seperti di Jawa-Madura pada kota-kota:
1. Jakarta; dengan daerah hukumya: Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor.
2. Bandung; meliputi: Keresidenan Priangan dan Cirebon
3. Pekalongan; meliputi: Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
4. Semarang; meliputi: Keresidenan Semarang dan Pati
5. Yogyakarta; meliputi: Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
6. Surakarta; meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
7. Surabaya; meliputi: Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
8. Malang; meliputi: Keresidenan Malang dan Besuki.

Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura.
Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Medan: Bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
2. Padang: Bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
3. Palembang:Bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.

Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera.
Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Pontianak: Bekas Keresidenan KALBAR dengan pulau-pulaunya
2. Banjarmasin: Bekas Keresidenan KALSEL dan KALTIM

Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta.
Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
1. Makassar: Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
2. Ambon: seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
3. Denpasar: seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).

Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.

C. MASA berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti:
Jawa-Madura;
1. Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
2. Surabaya, tambah Kediri, 

Sumatera;
1. Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
2. Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)

Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera, Kalimantan. Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya. Pada periode 1950-1959 di negara kita terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi. Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
a. Mahkamah Tentara Luar Biasa; Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
b. Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.

D. Masa Juli 1959-11 MARET 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. UU No. 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.

Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.

Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perobahan sama berlaku pula pada panitera. Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia. Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No.229/2A/1961 bahwa mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.

Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau. Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
a. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
b. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
c. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
d. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.

E. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970 menggantikan UU No. 9 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut;
a. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 - SKEB/B/498/VII/72
b. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 - J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.

Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).

Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara. Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.

F. peradilan Militer 1997-Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari;
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kritik
Dalam sejarah Peradilan Militer di Indonesia sejak zaman pendudukan Belanda sampai sekarang terdapat peng”kasta”an jenjang peradilan atas dasar tinggi rendahnya pangkat prajurit yang dijadikan sebagai terdakwa, oditur, hakim, dan panitera. Hal ini tampak misalnya ketika Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat kapten ke bawah, maka dengan oditur paling rendah berpangkat Kapten dan hakim paling rendah berpangkat Kapten. Pengadilan Militer Tinggi yang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama terhadap terdakwa prajurit dengan pangkat mayor ke atas, maka dengan oditur paling rendah beroangkat Letnan Kolonel, dan hakim paling rendah berpangkat Letnan Kolonel.

Peng”kasta”an jenjang peradilan menurut pangkat terdakwa, adalah sebuah pengingkaran terhadap UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 5 ayat (1) “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Walaupun Pasal ini tidak menjelaskan dengan jelas, dan hanya dijelaskan cukup jelas, “tidak membeda-bedakan orang” dalam kalimat ini, di dalamnya mengandung prinsip equality before the law (persamaan di muka hukum). Di sini, baik Prajurit berpangkat rendah maupun Jendral sekalipun memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Konsekuensinya seluruh tindakan Prajurit yang bertentangan dengan hukum yang berlaku maka wajib untuk diadili di dalam sistem dan mekanisme hukum yang sama. Karenanya tidak ada hak keistimewaan (privilege right) dan pengecualian perlakuan bagi siapapun yang melanggar hukum tersebut.

No comments:

Post a Comment