Tuesday 11 February 2014

Kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia

1. Latar Belakang Pembentukan 

Memburuknya situasi keamanan dan HAM ditimor-timur pascajajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional, dalam hal ini perserikatan bangsa-bangsa yang mendesak pemerintah Indonesia untuk dapat mengadili kasus pelanggaran HAM yang terjadi di timor-timur tersebut, namun apabila Indonesia tidak sanggup melakukannya, maka PPB akan mengambil alih tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Komisi penyelidik pelanggaran hak asasi (KPP) hak asasi manusia untuk timor-timur telah terjadi beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang berat diantaranya adalah pembunuhan massal, penyiksaan, dan penganiyayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa, dan pembumihangusan. 
http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/
Perhatian dunia internasional tersebut terbukti dengan banyaknya desakan kepada pemerintah Indonesia agar menyelesaikan pelanggaran HAM di timor-timur. Bahkan, terdengar selentingan jika pemerintah Indonesia mengabaikan peristiwa tersebut. Maka PBB berinisiatif mengambil alih penyelesaiaannya dengan membentuk Pengadilan tribunal seperti Tribunal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dan Tribunal Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY). Ancaman itu menjadi kekhawatiran dan dianggap sebagai ancaman terhadap harga diri bangsa. Pem
erintah Indonesia berusaha keras untuk menghindari hal tersebut terjadi, jangan sampai para jenderal dan pejabat sipil diadili di Tribunal Internasional bentukan PBB. Oleh karena itu, satu-satunya jalan pemerintah Indonesia untuk menghindarinya adalah menyelesaikan sendiri peristiwa tersebut. 

Atas dasar desakan dunia internasional terutama setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang berat ditimot-timur, akhirnya pemerintah Indonesia berinisiatif mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Tetapi sayangnya, Perpu ini, khirnya ditolak oleh DPR RI untuk menjadi Undang-Undang. Di sebabkan terdapat dua alasan mengapa Perpu itu ditolak. Pertama, tiada situasi darurat atau kepentingan yang memaksa untuk diterbitkannya Perpu. Kedua, subtansi Perpu masih memiliki kelemahan, antara lain; tidak menerapkan asas retroaktif, masih ada ketentuaan yang dinilai menyimpang dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku, masih belum menjangkau pertanggung jawaban secara lembaga, dan adanya ketentuan yang kontradiktif. Karena ditolak itulah, pemerintah kemudian menyusun rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM dan diajukan ke DPR RI untuk dibahas. 

Dengan serba kekurangan yang ada, tepat pada tanggal 6 Nopember 2000, rancangan Undang-Undang tersebut akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusi. Pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM juga merupakan amanat ketentuan pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Yang pada intinya menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibentukla Pengadilan hak asasi manusia di lingkungan Pengadilan Umum. 

2. Kompetensi Absolut Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) 

Pengadilan HAM merupakan Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan tersebut bertugas dan mempunyai kewenangan memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat. Sementara yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againt humanity). 

Berdasarkan subtansi Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ditentukan bahwa tidak semua pelanggaran HAM yang berat dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM akan tetapi, Pengadilan HAM hanya terbatas memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat sebagai mana tercantum didalam pasal 4, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againt humanity) sesuai dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Pengadilan HAM juga tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Ini artinya, walaupun terdapat seseorang melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi orang tersebut belum berumur 18 tahun ketika melakukan kejahatan yang dimaksud, maka Pengadilan HAM tidak berwenang mengadili perkara tersebut. 

Kompetensi absolut Pengadilan HAM tersebut tentu saja sangat sempit sehingga tidak mungkin menjamin tercapainya penyelesaian yang memuaskan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang diajukan untuk diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM. Selain itu, mengategorikan pelanggaran HAM yang berat hanya kepada genosida dan kejatahan terhadap kemanusiaan sesungguhnya mereduksi makna pelanggaran HAM yang berat dalam ketentuan Pasal 104 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berisi ketentuan pembentukan Undang-Undang Peangadilan HAM. Pasal 104 menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia, sedangkan pengertian pelanggaran HAM yang berat dalam penjelasan pasal tersebut adalah: 

“Pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan Pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)”. 

Konsep pelanggaran HAM yang berat dalam Pasal 104 justru lebih luas dibandingkan dengan konsep yang sama dalam undang-undang Pengadilan HAM yang hanya pada dua (2) jenis yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tampak sekali telah terjadi disingkronisasi horijontal disini antara Pasal 104 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 4 jo Pasal 7, 8, 9 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pemecahan masalah ini dalam teori hukum dengan prinsip lex superiori derogat legi inperiori justru membenarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang keluar lebih akhir dari Undang-Undang No. 39 tahun 1999 dengan demikian Pasal 104 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang lebih luas maknanya, tidak berlaku lagi sejak di undangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sesuai dengan Rome Statute Of The Intent Court 1998. Dengan mengingat Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma sendiri menentukan bahwa kejahatan dalam yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional terdiri dari genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Jika pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM hanya menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, itu berarti pembentuk Undang-Undang memang dengan sengaja menentukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat hanya terdiri dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Selanjutnya Undang-Undang Pengadilan HAM, lingkup kewenangannya tidak hanya mengatur asas teritorial, namun juga menggunakan asas nasional aktif atau asas personal. Maksud asas ini adalah bahwa hukum atau perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan baik di dalam maupun di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM asas tersebut secara implisit tertuang dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Lingkup kewenangan Pengadilan HAM ini hanya dibatasi kewenangannya, yang mengakibatkan supremasi hukum dalam ranah pengadilan susah untuk di tegakkan, sehingga rasa keadilan masih jauh dari yang diharapkan oleh rakyat Indonesia. 

3. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Menangani Tindakan Diskriminatif Sebagai Pelanggaran HAM Ringan 

Dalam pelanggaran HAM ringan termasuk atas tindakan diskriminatif yang merupakan bentuk kejahatan yang terjadi terhadap seseorang maupun kelompok-kelompok tertentu khusunya bagi kelompok minoritas yang notabennya terjadi dikalangan masyarakat yang majemuk, sehingga bagi pelaku tindakan diskriminatif dapat dihukum dan diadili dalam suatu ranah Pengadilan Negeri dan bukanlah merupakan wewenang dari pengadilan HAM itu sendiri, sebab Pengadilan HAM hanya dapat mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM berat seperti halnya kejahatan genosida dan crimes againt humanity, dan kejahatan ini yang kemudian yang dikategorikan didalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai pelanggaran HAM berat. 

Pelanggaran terhadap tindakan diskriminatif sudah sangat jelas dikatakan sebagai perbuatan pelanggaran HAM sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM dan selanjutnya didalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis menentukan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan atas tindakan diskriminatif. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 13 Undang-Undang No. 40 tahun 2008 bahwa: 

“Setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui Pengadilan Negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya”. 

Kemudian pada Pasal 14 juga menjelaskan bahwa: 

“Setiap orang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui Pengadilan Negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya”. 

Menurut Sasanti, bahwa pelanggaran atas tindakan diskriminatif tidak dapat dibawah kedalam sistim peradilan HAM, disebabkan instrumen hukum yang mengatur tentang Pengadilan HAM dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya memperuntukkan bagi pelanggaran HAM berat, dan juga hukum acara yang digunakan dalam mengadili perkara pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM masih menggunakan hukum acara pidana, yang kemudian tidak adanya regulasi hukum acara khusus yang mengatur tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga tindakan diskriminatif mengarah kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa setiap tindakan diskriminatif dapat dibawah ke dalam sistim peradilan umum yang berada di ruang lingkup kejadian perkara tindakan diskriminatif. 

Selanjutnya Sasanti menjelaskan, suatu kebijakan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan atau pemerintah pusat maupun daerah yang memiliki ciri dan sifat yang mengarah kepada tindakan diskriminasi berupa Peraturan dengan bentuk apapun. Maka korban selaku yang dirugikan dapat membuat berupa pengaduan ke Komnas HAM dan mengajukan keberatan berupa tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), melalui pembatalan terhadap bentuk aturan-aturan yang telah dikeluarkan pemerintah, baik itu yang sifatnya Surat Keterangan (SK), tata cara penerimaan Pegawai Negeri Sipil dan lain sebagainya. Sebagai contoh, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya telah mengabulkan tuntutan seorang penyandang disabilitas ketika dirinya ditolak untuk mengikuti tes seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil terhadap beberapa ketentuan syarat yang dikeluarkan pemerintah setempat. Dimana ketika itu sebagai saksi ahli dalam kasus tersebut adalah komisioner Komnas HAM Republik Indonesia. Akhirnya putusan tersebut menjadi yurisprudensi, dimana pemerintah Surabaya sebelumnya mengajukan banding di PTTUN Jawa Timur, maka tuntutan tersebut ditolak, dan pemerintah setempat kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kemudian Mahkamah Agung menolak tuntutan pemerintah Surabaya atas keberatan terhadap putusan yang di keluarkan oleh PTUN Surabaya dan PTTUN Jawa Timur mengenai tidak diperbolehkannya penyandang disabilitas untuk mengikuti tes calon pegawai negeri sipil. 

Menurut Elfansuri Chairah, mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Australia itu di sebut sebagai Australian Human Rights Commission. Kemudian Komnas HAM nya mengatur hukum Persemakmuran dalam bidang HAM, anti-diskriminasi, dan keadilan sosial. Di bawah hukum anti-diskriminasi federal dan negara bagian atau teritori, tidak ada orang yang boleh diperlakukan secara kurang baik dari pada orang lain karena umur, ras, negara asal, jenis kelamin, status pernikahan, kehamilan, kepercayaan politik atau agama, cacat tubuh atau preferensi seksual. Hal ini berlaku untuk sebagian besar area, termasuk di pekerjaan, pendidikan, akomodasi, pembelian barang, dan akses ke berbagai layanan, seperti dokter, bank, dan hotel. Maka Pria dan wanita setara di bawah hukum dan untuk semua tujuan yang lain. apabila tindakan yang demikian terjadi di negara Australia, maka pihak dapat menghubungi pihak komnas HAM untuk di mintakan berupa mediasi atau bagi pihak yang dirugikan dapat pula mengadu ke penegak hukum, yang kemudian membawa kasusnya ke ranah pengadilan. Sedangkan untuk di Indonesia sendiri tindakan diskriminasi juga dapat di lakukan penuntutan ke pengadilan, namun kasus nya jarang di lakukan dan sebahagian kalangan masyarakat masih banyak yang tidak mengerti atau paham masalah tersebut, sehingga terkadang pihak yang mengalami perlakuan diskriminatif melapor ke lembaga-lembaga non pemerintahan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lain sebagainya. 

Kemudian menurut Eko Dahana Djajakarta mengatakan, tindakan diskriminatif dapat pula dilakukan penuntutan ke Pengadilan Negeri, apabila dapat dibuktikan dengan melalui berbagai unsur-unsur yang berindikasikan sebagai pelanggaran diskriminatif, mengenai fakta-fakta yang terjadi yang kemudian dikontruksikan apakah fakta sosial yang terjadi itu merupakan fakta hukum yang memiliki inter/menstriasinya terhadap tindakan diskriminatif, apabila itu dapat dibuktikannya dengan unsur-unsurnya, maka pihak yang mengalami tindakan diskriminatif dapat melaporkan ke pihak yang berwenang seperti pihak kepolisian dan lembaga-lembaga lainnya seperti Komnas HAM, sehingga penyidik dalam perkara tersebut dapat pula membawanya ke dalam sistim peradilan pidana. 

Selanjutnya Kamarut Jaman menjelaskan, bahwa perbuatan diskriminasi ras dan etnis memiliki sanksi pidana yang sebagaimana diatur didalam Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan undang-undang tersebut secara jelas menuangkan tentang sanksi pidana bagi pelaku tindakan diskriminasi ras dan etnis, sehingga bagi pelaku tindakan tersebut dapat dilaporkan ke Komnas HAM dan aparat penegak hukum yang kemudian kasusnya dapat dibawah keranah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang menangani kasus tindakan diskriminasi ras dan etnis sesuai yang tercantum dalam pasal 14 Undang-Undang No. 40 tahun 2008. Maka apabila pihak kepolisian tidak dapat merespon berupa laporan yang dilakukan korban atas tindakan diskriminasi, korban dalam hal ini dapat melaporkan kembali ke komnas HAM dan kemudian Komnas HAM yang akan membuat berupa rekomendasi ke Polres dan pemerintah setempat yang akan menyidik perkara diskriminasi tersebut, sebab Komnas HAM hanya sebatas berwenang untuk membuat berupa rekomendasi terhadap pelanggaran diskriminasi sesuai yang dicantumkan dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Seperti halnya kasus yang terjadi di Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat yang terjadi pada tanggal 22 Januari 2013. Dimana massa mengamuk dengan cara merusak dan membakar beberapa bangunan dan kendaraan khususnya yang dimiliki oleh warga etnis Bali. Bermula kerusuhan dipicu oleh isu adanya oknum Polisi asal Bali yang memperkosa mahasiswi warga Desa Brang Rea Moyo Hulu pada 21 Januari 2013. Insiden tersebut mengakibatkan korban tewas dan isu tersebut membuat warga marah. Kemudian dari kasus tersebut Komnas HAM membuat berupa suarat rekomendasi kepada Bupati Sumbawa dan Kapolres Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, yang akhirnya pelaku di tangkap dan sekarang ditahan di tahanan negara daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. 

Kemudian dalam perkara diskriminasi terhadap anak, Retno Adji Prasetiaju menjelaskan dalam hal ini, pihak yang mengalami tindakan diskriminasi anak tersebut dapat pula melaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berada dibawah koordinator pemberdayaan perempuan dan pelayanan terpadu di setiap pemerintah kabupaten/kota yang bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sedangkan untuk di tingkat Kepolisian setempat ada yang namanya Ruangan Pelayanan Khusus (RPK) yang memiliki ruang khusus, disamping itu bagi anak yang mengalami tindakan diskriminasi tersebut juga dapat membuat laporan berupa tertulis ataupun lisan langsung ke Komisi Perlindungan Anak Republik Indonesia dan juga LSM yang terkait dalam hal ini Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia yang mana Komnas Perlindungan Anak Indonesia tersebut bersifat independen lembaga-lembaga ini merupakan lembaga yang menanggani perkara-perkara terhadap pelanggaran hak-hak anak sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak. 

Haris Merdeka Sirait mengungkapkan, bahwa kekerasan terhadap anak yang pernah terjadi semisal di depok dan berbagai tempat lainnya, juga mempekerjakan anak dibawah umur dengan cara berlebihan selanjutnya memberikan pembedaan upah atau gaji terhadap anak yang bekerja merupakan perbuatan diskriminasi yang kemudian termasuk sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengarah kepada pelanggaran HAM terhadap anak dan melanggar Konvensi ILO. Maka apabila hal ini terjadi anak ataupun yang mewakili dari anak tersebut dapat melakukan pengaduan ke ruangan pelayanan khusus yang berada di kepolisian setempat dan juga kelembaga perlindungan anak Indonesia baik itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan juga Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak) dan berbagai lembaga-lembaga lainnya yang memiliki visi untuk melindungi hak-hak anak tersebut. 

Selanjutnya Retno Adji Prasetiaju menjelaskan, bahwa kasus atas tindakan diskriminasi terhadap anak dapat pula di bawah keranah pengadilan, yang apabila kasus tersebut sudah jelas memiliki unsur yang jelas yang menerangkan bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan diskriminasi terhadap anak. 

Dengan demikian dapat diketahui bahwa, bagi yang mengalami tindakan diskriminatif tersebut dapat melakukan berupa gugatan ganti kerugian atau tuntutan ke Pengadilan Negeri setempat yang menjadi ruanglingkup pengadilan untuk mengadili perkara atas tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM ringan. 

1 comment:

  1. Memang benar setiap orang yang merasa haknya dirampas,dengan cara trik trik dalam gugatan sehingga merugikan sepihak.Tapi yang kami takutkan laporan atau gugatan yang di mohonkan oleh orang/pihak yang tidak mampu terhadap pihak/orang kaya,sering terjadi perbedaan layanan hukum,atau laporan atau gugatan tidak gubris.....

    ReplyDelete