Friday, 7 February 2014

Tindakan Hakim kepada Pelaku Diskriminatif


Rendahnya Pemahaman Hakim dan Panitera Pengadilan Tentang Tindakan Diskriminatif Sebagai Pelanggaran HAM Ringan Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan bebas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga UU No 14 tahun 1970 tentnag pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 dan terakhir telah dilakukan penyesuaian dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
Dalam Pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 menegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Maka memperhatikan dari Pasal 2 tersebut diatas terlihat bahwa Pengadilan HAM bukanlah pengadilan yang berdiri sendiri seperti pengadilan negeri pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara, melainkan merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang berkedudukan di daerah kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Keberadaan peradilan HAM  sama dengan keberadaan pengadilan anak atau praperadilan hanya saja dalam pengadilan HAM penentuan dan komposisi hakimnya ditentukan tersendiri sesuai dengan undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Hakim peradilan HAM disebut Haikim Ad Hoc yaitu hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi prasyaratan professional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hokum dan negara kesejahtraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia (penjelasan pasal 28 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000)
Saat ini Indonesia sedang menjadi sorotan dunia sehubungan digelarnya Peradilan ad hoc bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat. Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan yang bersifat merusak hak-hak asasi seseorang atau sekelompok orang dan bukan sekedar hanya untuk menghilangkan nyawa secara materiil dari kejahatan tersebut. Pelanggaran HAM berat merupakan tindakan yang bersifat sistemik atau meluas (systemic or widespread).
Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang muncul, yakni pertama, ketentuan-ketentuan hukum nasional yang dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan bagi pelaku pelanggaran HAM berat, kedua, hubungan antara Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional yang digunakan sebagai dasar pemidanaan bagi pelanggaran HAM berat.  Ketiga, hambatan-hambatan yang muncul sehubungan dengan harmonisasi ketentuan hukum Nasional dengan hukum Internasional.
Pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia didasarkan pada  ketentuan  dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelaku kejahatan genocide dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum dibentuknya UU No 26 tahun 2000 tersebut.  Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini mengadopsi rumusan tindak pidana berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocide dari Statuta Roma l998 meskipun pemerintah Indonesia sebelumnya tidak meratifikasi Statuta Roma l998 tentang pembentukan Internasional Criminal Courts (ICC). Putusan pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat dalam mengadili 12 orang terdakwa pelanggaran HAM berat Timor Timur telah membebaskan 5 orang terdakwa sedangkan mereka yang dipidana hanya dijatuhi pidana penjara di bawah batas ancaman minimun 10 tahun. Akibatnya pengadilan HAM ad hoc ini dianggap tidak memenuhi standar Internasional. Undang-undang No 26 Tahun 2000 yang digunakan sebagai dasar hukum pengadilan HAM ad hoc tersebut memang tidak memenuhi standar internasional, hal ini dikarenakan tidak dipenuhi syarat-syarat pendirian Pengadilan HAM ad hoc secara Internasional.
Penerapan dan pelaksanaan peradilan dalam menangani masalah HAM terkhusus tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM di berbagai pengadilan masih terlihat rendah dan tidak pernah di adilinya kasus-kasus kejahatan HAM. Misalnya saja di Pengadilan Negeri Medan merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum. Tugas pokok Peradilan Negeri Medan adalah sebagai berikut; 1). Mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Undang-Undang No. 84 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Peradilan Umum. 2). Menyelenggarakan administrasi perkara dan administrasi umum lainnya.
Pengadilan Negeri Medan pada dasarnya masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dan daerah hukumnya meliputi wilayah dengan luas kurang lebih 26.510 Km yang terdiri dari 21 (dua puluh satu) kecamatan. Pengadilan Negeri Medan tidak hanya berfungsi sebagai peradilan umum yang menangani perkara perdata dan pidana, tetapi juga memiliki pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Peradilan Umum. Maka berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan Peradilan Umum. Sehingga untuk Pengadilan Negeri Medan terdapat 4 (empat) Pengadilan Khusus yaitu antara lain, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Tipikor, dan pengadilan HAM. Setiap pengadilan khusus ini memiliki kompetensi absolute dan relative untuk mengadili perkara berdasarkan undang-undang yang membentuknya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 menjelaskan, bahwa kedudukan dan tempat kedudukan Pengadilan HAM berada di lingkungan Peradilan Umum, kemudian Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang memiliki wilayah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Maka berdasarkan pelaksanaan atau penerapan sanksi bagi pelaku tindakan diskriminatif di Pengadilan Negeri Medan sangat memperhatinkan, melihat keadaan yang ada di Pengadilan Negeri Medan untuk kasus tindakan diskriminatif di Pengadilan tersebut tidak pernah terjadi untuk diadili, mengingat kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan pengadilan kepada masyarakat tentang Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kemudian hakim yang paham dan mengetahui tentang HAM sangat sedikit, yang sangat menghiraukan sekali adalah untuk hakim karir di Pengadilan Negeri medan yang memiliki spesialisasi tentang HAM tidak ada sama sekali.
Selanjutnya, sepanjang tahun 1999 Pengadilan HAM berdiri yang notabennya masih bergabung dengan Pengadilan Negeri Medan hingga saat ini tidak pernah sama sekali menangani perkara pelanggaran HAM berat apalagi pelanggaran HAM ringan seperti tindakan diskriminatif, mengingat pengetahuan hakim sangat rendah tentang HAM saat ini dan juga para panitera pengadilan tidak banyak memahami tentang Undang-Undang HAM, sesuai yang dikatakan oleh Syafruddin Ngulma Siemeulue sebagai Ketua Subkomisi Mediasi Komnas HAM mengatakan, bahwa dalam mengadili kasus HAM harus dilakukan di pengadilan umum, celakanya masih banyak hakim dan panitera pengadilan daerah yang belum paham dan mengerti adanya Undang-Undang HAM, sehingga beberapa kesepakatan perdamaian yang telah dilakukan Komnas HAM melalui mediasi, masih ada yang tidak didaftar sama sekali di pengadilan umum. Maka merujuk kejadian ini Komnas HAM langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, agar ada surat edaran kepada seluruh pengadilan di Indonesia untuk mensosialisasikan Undang-Undang HAM yaitu Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, bahwa pengetahuan dan pemehaman hakim dan panitera tentang HAM masih begitu rendah melihat dari berbagai factor seperti pendidikan, pengalaman dan pengetahuan untuk mempelajari dan menggalih instrumen HAM.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa hakim merupakan sebagai corong undang-undang, artinya setiap suatu produk hukum yang diberlakukan di suatu negara yang kemudian menjadi undang-undang, hakim wajib mengetahui dan mengerti serta memahami undang-undang tersebut. Malah keadaan ini berbalik, dimana dari kalangan hakim masih banyak yang tidak memahami dan mengerti tentang HAM sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Selanjutnya Satjipto Rahardjo menjelaskan hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan
Menurut Hiras Sihombing, bahwa dalam perkara pelanggaran HAM itu sifatnya hanya dilakukan para aparat kepolisian sepanjang dia mengatasnamakan jabatannya sebagai pejabat negara dan pemerintahan sedangkan untuk tindak pidana dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap masyarkat lainnya.
Selanjutnya Syamsuddin mengatakan, bahwa kasus pelanggaran HAM untuk diadili di Pengadilan Negeri Medan tidak pernah terjadi, apalagi pelanggaran HAM ringan misalnya seperti tindakan diskriminatif juga tidak pernah diadili di pengadilan tersebut. Kemudian untuk Hakim HAM karir di Pengadilan HAM yang sebagaimana masih bergabung dengan Pengadilan Negeri Medan sudah tidak ada, sebab perkara HAM yang masuk di Pengadilan Negeri tersebut tidak pernah untuk diadili. Maka apabila terjadi berupa kasus ataupun perkara pelanggaran HAM, kemudian masuk sebagai laporan di Pengadilan Negeri tersebut, maka dibentuklah suatu Pengadilan HAM dan untuk hakim karirnya dapat di panggil atau diundang dari hakim-hakim HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian Rian menambahkan, bahwa selama Pengadilan HAM yang berada di Pengadilan Negeri, semenjak tahun 1999 sampai sekarang belum pernah ada kasus pelanggaran HAM yang masuk di Pengadilan Negeri, dan hakim karirpun hingga kini tidak ada, begitu juga untuk hakim HAM ad.hoc di Pengadilan Negeri tersebut. Selanjutnya Rian mengatakan bahwa dahulunya hakim HAM di Pengadilan Negeri Medan sempat ada, akan tetapi sudah dipindah tugaskan ke Pengadilan Negeri Palembang. Kemudian apabila nantinya kasus pelanggaran HAM terjadi disekitar wilayah kewenangan Pengadilan Negeri Medan, maka di periksa dan di putus perkara pelanggaran HAM tersebut dengan mengundang dan memanggil Hakim-hakim HAM dari Jakarta pusat.
Menurut Bangun Kabag arsip pidana Pengadilan Negeri Medan mangatakan, bahwa kasus pelanggaran HAM untuk di Pengadilan Negeri Medan tidak pernah diadili, diperiksa dan juga diputus, dan begitu juga kasus pelanggaran terhadap tindakan diskriminatif baik itu diskriminatif gender, anak, dan lain sebagainya tidak pernah diselesaikan di pengadilan tersebut, baik melalui jalur mediasi ataupun dengan jalur pengadilan.
Dengan demikian, menandakan betapa sedikitnya paham para pegawai, panitera dan hakim di pengadilan-pengadilan negeri tentang hak asasi manusia, begitu juga tentang pengetahuannya masalah HAM sangat minim, disebabkan kurangnya rasa kepedulian dari kalangan aparat penegak hukum untuk lebih dalam mempelajari dan memahami seputar tentang HAM sesuai yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Maka merujuk yang demikian, bagaimana penerapan sanksi bagi pelaku tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM dapat diaplikasikan atau di terapkan di pengadilan-pengadilan di setiap wilayah di Indonesia, sedangkan hakim dan panitera maupun pegawai pengadilan masih banyak yang tidak memahami dan mengerti tentang materi undang-undang hak asasi manusia. Oleh karena itu perlunya pendidikan HAM dilakukan di setiap lingkungan peradilan, sebab diprediksi kedepan keberadaan HAM semangkin di permasalahkan dan di perbincangkan dikarenakan setiap kodrat manusia terdapat nilai-nilai HAM yang perlu untuk di jaga dan dilindungi oleh pemerintah dan para aparat penegak hukum.

No comments:

Post a Comment