Rendahnya Pemahaman Hakim dan Panitera Pengadilan Tentang
Tindakan Diskriminatif Sebagai Pelanggaran HAM Ringan Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan bebas yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Amandemen UUD 1945 telah membawa
perubahan terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga UU No 14 tahun
1970 tentnag pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No.
35 tahun 1999 dan terakhir telah dilakukan penyesuaian dengan UU No. 4 tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman
Dalam
Pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 menegaskan
bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Maka memperhatikan dari Pasal 2 tersebut diatas terlihat bahwa Pengadilan HAM bukanlah pengadilan yang
berdiri sendiri seperti pengadilan negeri pengadilan militer dan pengadilan
tata usaha negara, melainkan merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan peradilan umum yang berkedudukan di daerah kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan.
Keberadaan
peradilan HAM sama dengan keberadaan
pengadilan anak atau praperadilan hanya saja dalam pengadilan HAM penentuan dan
komposisi hakimnya ditentukan tersendiri sesuai dengan undang-undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.
Hakim
peradilan HAM disebut Haikim Ad Hoc yaitu hakim yang diangkat dari luar hakim
karier yang memenuhi prasyaratan professional, berdedikasi dan berintegritas
tinggi, menghayati cita-cita negara hokum dan negara kesejahtraan yang
berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia
(penjelasan pasal 28 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000)
Saat ini
Indonesia sedang menjadi sorotan dunia sehubungan digelarnya Peradilan ad
hoc bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat.
Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan yang bersifat merusak hak-hak asasi
seseorang atau sekelompok orang dan bukan sekedar hanya untuk menghilangkan
nyawa secara materiil dari kejahatan tersebut. Pelanggaran HAM berat merupakan
tindakan yang bersifat sistemik atau meluas (systemic or widespread).
Sehubungan
dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang muncul, yakni pertama,
ketentuan-ketentuan hukum nasional yang dapat digunakan sebagai dasar
pemidanaan bagi pelaku pelanggaran HAM berat, kedua, hubungan antara
Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional yang digunakan sebagai
dasar pemidanaan bagi pelanggaran HAM berat. Ketiga, hambatan-hambatan
yang muncul sehubungan dengan harmonisasi ketentuan hukum Nasional dengan hukum
Internasional.
Pengadilan
bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia didasarkan pada
ketentuan dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dengan
membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelaku kejahatan genocide
dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum dibentuknya UU No 26
tahun 2000 tersebut. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM ini mengadopsi rumusan tindak pidana
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocide dari Statuta Roma l998 meskipun pemerintah Indonesia sebelumnya tidak
meratifikasi Statuta Roma l998 tentang pembentukan Internasional Criminal Courts (ICC). Putusan
pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat dalam mengadili 12 orang terdakwa
pelanggaran HAM berat Timor Timur telah membebaskan 5 orang terdakwa sedangkan
mereka yang dipidana hanya dijatuhi pidana penjara di bawah batas ancaman
minimun 10 tahun. Akibatnya pengadilan HAM ad hoc ini dianggap tidak
memenuhi standar Internasional. Undang-undang No 26 Tahun 2000 yang digunakan
sebagai dasar hukum pengadilan HAM ad hoc tersebut memang tidak memenuhi
standar internasional, hal ini dikarenakan tidak dipenuhi syarat-syarat
pendirian Pengadilan HAM ad hoc secara Internasional.
Penerapan dan pelaksanaan peradilan dalam menangani masalah HAM terkhusus
tindakan diskriminatif sebagai pelanggaran HAM di berbagai pengadilan masih
terlihat rendah dan tidak pernah di adilinya kasus-kasus kejahatan HAM. Misalnya
saja di Pengadilan
Negeri Medan merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan
peradilan umum. Tugas pokok Peradilan Negeri Medan adalah sebagai berikut; 1). Mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan
Undang-Undang No. 84 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Peradilan Umum. 2).
Menyelenggarakan administrasi perkara dan administrasi umum lainnya.
Pengadilan
Negeri Medan pada dasarnya masuk
dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dan daerah hukumnya
meliputi wilayah dengan luas kurang lebih 26.510 Km yang terdiri dari 21 (dua
puluh satu) kecamatan. Pengadilan Negeri Medan tidak hanya berfungsi sebagai
peradilan umum yang menangani perkara perdata dan pidana, tetapi juga memiliki
pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Peradilan Umum. Maka
berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
Peradilan Umum. Sehingga untuk Pengadilan Negeri Medan terdapat 4 (empat)
Pengadilan Khusus yaitu antara lain, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan
Industrial, Pengadilan Tipikor, dan pengadilan HAM. Setiap pengadilan khusus
ini memiliki kompetensi absolute dan relative untuk mengadili perkara
berdasarkan undang-undang yang membentuknya.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang terdapat pada Pasal
2 dan Pasal 3 menjelaskan, bahwa kedudukan dan tempat kedudukan Pengadilan HAM
berada di lingkungan Peradilan Umum, kemudian Pengadilan HAM berkedudukan di
daerah kabupaten atau daerah kota yang memiliki wilayah hukum Pengadilan Negeri
yang bersangkutan. Maka berdasarkan
pelaksanaan atau penerapan sanksi bagi pelaku tindakan diskriminatif di
Pengadilan Negeri Medan sangat memperhatinkan, melihat keadaan yang ada di
Pengadilan Negeri Medan untuk kasus tindakan diskriminatif di Pengadilan tersebut tidak pernah terjadi untuk diadili, mengingat kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah
dan pengadilan kepada masyarakat tentang Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang HAM, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan
Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Kemudian
hakim yang paham dan mengetahui tentang HAM sangat sedikit, yang sangat
menghiraukan sekali adalah untuk hakim karir di Pengadilan Negeri medan yang
memiliki spesialisasi tentang HAM tidak ada sama sekali.
Selanjutnya, sepanjang tahun 1999
Pengadilan HAM berdiri yang notabennya masih bergabung dengan Pengadilan Negeri Medan hingga
saat ini tidak pernah sama sekali
menangani perkara pelanggaran HAM berat apalagi pelanggaran HAM ringan seperti
tindakan diskriminatif, mengingat pengetahuan hakim sangat rendah tentang HAM saat ini dan juga para panitera pengadilan
tidak banyak memahami tentang Undang-Undang HAM, sesuai yang dikatakan oleh Syafruddin Ngulma
Siemeulue sebagai Ketua Subkomisi Mediasi Komnas HAM mengatakan, bahwa dalam
mengadili kasus HAM harus dilakukan di pengadilan umum, celakanya masih banyak hakim dan panitera pengadilan
daerah yang belum paham dan mengerti adanya Undang-Undang HAM, sehingga beberapa kesepakatan
perdamaian yang telah dilakukan Komnas HAM melalui mediasi, masih ada yang
tidak didaftar sama sekali di pengadilan umum. Maka merujuk kejadian ini Komnas
HAM langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia, agar ada surat edaran kepada seluruh pengadilan di Indonesia untuk
mensosialisasikan Undang-Undang HAM yaitu Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Artinya, bahwa pengetahuan dan pemehaman hakim dan panitera tentang HAM masih
begitu rendah melihat dari berbagai
factor seperti pendidikan, pengalaman dan pengetahuan
untuk mempelajari dan menggalih instrumen HAM.
Menurut
Satjipto Rahardjo, bahwa hakim merupakan sebagai corong undang-undang, artinya
setiap suatu produk hukum yang diberlakukan di suatu negara yang kemudian
menjadi undang-undang, hakim wajib mengetahui dan mengerti serta memahami
undang-undang tersebut. Malah keadaan ini berbalik, dimana dari kalangan hakim
masih banyak yang tidak memahami dan mengerti tentang HAM sebagaimana yang
dituangkan dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Selanjutnya
Satjipto Rahardjo menjelaskan hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus
dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya
kebenaran dalam menggapai keadilan
Menurut
Hiras Sihombing, bahwa dalam perkara
pelanggaran HAM itu sifatnya hanya dilakukan para aparat kepolisian sepanjang
dia mengatasnamakan jabatannya sebagai pejabat negara dan pemerintahan
sedangkan untuk tindak pidana dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap
masyarkat lainnya.
Selanjutnya
Syamsuddin mengatakan, bahwa kasus
pelanggaran HAM untuk diadili di Pengadilan Negeri Medan tidak pernah terjadi,
apalagi pelanggaran HAM ringan misalnya seperti tindakan diskriminatif juga
tidak pernah diadili di pengadilan tersebut. Kemudian untuk Hakim HAM karir di
Pengadilan HAM yang sebagaimana masih bergabung dengan Pengadilan Negeri Medan
sudah tidak ada, sebab perkara HAM yang masuk di Pengadilan Negeri tersebut
tidak pernah untuk diadili. Maka apabila terjadi berupa kasus ataupun perkara
pelanggaran HAM, kemudian masuk sebagai laporan di Pengadilan Negeri tersebut,
maka dibentuklah suatu Pengadilan HAM dan untuk hakim karirnya dapat di panggil
atau diundang dari hakim-hakim HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian
Rian menambahkan, bahwa selama Pengadilan HAM yang berada di Pengadilan Negeri,
semenjak tahun 1999 sampai sekarang belum pernah ada kasus pelanggaran HAM yang
masuk di Pengadilan Negeri, dan hakim karirpun hingga kini tidak ada, begitu
juga untuk hakim
HAM ad.hoc di Pengadilan Negeri tersebut. Selanjutnya Rian mengatakan bahwa
dahulunya hakim HAM di Pengadilan Negeri Medan sempat ada, akan tetapi sudah dipindah tugaskan ke Pengadilan Negeri Palembang.
Kemudian apabila nantinya kasus pelanggaran HAM terjadi disekitar wilayah
kewenangan Pengadilan Negeri Medan, maka di periksa dan di putus perkara
pelanggaran HAM tersebut dengan mengundang dan memanggil Hakim-hakim HAM dari
Jakarta pusat.
Menurut
Bangun Kabag arsip pidana Pengadilan Negeri Medan mangatakan, bahwa kasus
pelanggaran HAM untuk di Pengadilan Negeri Medan tidak pernah diadili,
diperiksa dan juga diputus, dan begitu juga kasus pelanggaran terhadap tindakan
diskriminatif baik itu diskriminatif gender, anak, dan lain sebagainya tidak
pernah diselesaikan di pengadilan tersebut, baik melalui jalur mediasi ataupun
dengan jalur pengadilan.
Dengan demikian,
menandakan betapa sedikitnya paham para pegawai, panitera dan hakim di
pengadilan-pengadilan negeri tentang hak asasi manusia, begitu juga tentang
pengetahuannya masalah HAM
sangat minim, disebabkan kurangnya rasa kepedulian dari kalangan
aparat penegak hukum untuk lebih dalam mempelajari dan memahami seputar tentang
HAM sesuai yang dicantumkan dalam
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Maka merujuk yang
demikian, bagaimana penerapan sanksi bagi pelaku tindakan diskriminatif sebagai
pelanggaran HAM dapat diaplikasikan atau di terapkan di pengadilan-pengadilan
di setiap wilayah di Indonesia, sedangkan hakim dan panitera maupun pegawai
pengadilan masih banyak yang tidak memahami dan mengerti tentang materi undang-undang hak asasi manusia.
Oleh karena itu perlunya pendidikan HAM dilakukan di setiap lingkungan
peradilan, sebab diprediksi kedepan keberadaan HAM semangkin di permasalahkan
dan di perbincangkan dikarenakan
setiap kodrat manusia terdapat nilai-nilai HAM yang perlu untuk di jaga dan
dilindungi oleh pemerintah dan para aparat penegak hukum.
No comments:
Post a Comment