Friday, 14 February 2014

Kompilasi Hukum Islam

Indonesia telah mensyahkan Undang-Undang tentang Hukum Islam yang di sebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam rangka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjamin kepastian hukum Islam di Indonesia. KHI berupa ucapan tertulis ketentuan hukum Islam melalui 229 pasal pasal terhadap bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 

http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/KHI berlandaskan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991. InPres No.1/1991 menguasakan KHI. Konsiderans menimbang a InPres tersebut menyatakan bahwa, `Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Pekawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan' (kursif penulis). Loka Karya Ulama Indonesia tersebut berupa hasil kerjasama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.

Selanjutnya, Diktum pertama InPres No.1/1991 memerintah Menteri Agama `menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: 
c. Buku III tentang Perwakafan'. 

Maka, dengan Diktum pertama InPres te
rsebut rancangan buku KHI dikeluarkan sebagai dan menjadi buku KHI.

InPres No.1/1991 pula menggariskan kedudukan KHI sebagai pedoman hukum Islam untuk lembaga pemerintahan dan masyarakat bersangkutan. Konsiderans menimbang b InPres No.1/1991 menegaskan KHI `dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah masalah' di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjuynta, Diktum pertama InPres No.1/1991 menjelaskan KHI dimaksud, `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya'.

InPres No.1/1991 dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No.154/1991. Keputusan Menteri tersebut menetapkan kedudukan KHI secara lebih lanjut sebagai pedoman hukum Islam yang perlu diterapkan sedapat oleh instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. 

Diktum Pertama Keputusan Menteri tersebut menetapkan, `Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan'. KHI dimaksud `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyeleasikan masalah masalah di bidang tersebut'. 

Diktum Kedua Keputusan Menteri Agama No.154/1991 menetapkan, `Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama dalam menyelesaikan masalah masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lain'. 

Keputusan Menteri Agama No.154/1991 disampaikan kepada para pejabat pemerintahan bersangkutan termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam No.3694/EV/HK.003/AZ/91.

Kedudukan KHI tersebut perlu dibedakan dari kedudukan peraturan perundangan. KHI tidak berupa peraturan perundangan yang wajib dianut. Yaitu, KHI bukan kodifikasi hukum Islam dikeluarkan melalui Undang Undang yang memuat setiap hak atau kewajiban dalam suatu bidang hukum Islam. Kodifikasi hukum Islam sejenis tersebut telah dilakukan di Sudan dan Singapura.

Melainkan, KHI berupa kompilasi hukum Islam yang cuma dikuasakan atau diakui oleh peraturan perundangan dan pada hakekatnya tidak wajib diterapkan. Sebagaimana dijelaskan, pelaksanaan KHI dalam Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum Islam di seluruh Indonesia.

Peraturan Perundangan Tentang Hukum Islam Pada Masa Kini

Dengan peraturan perundangan tentang hukum Islam pada masa kini, wewenang yang luas diberikan kepada Pengadilan Agama dan kepastian hukum Islam dijamin. 

UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama

UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara lengkap. UU No.7/1989 menetapkan kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat kedudukan Pengadilan tersebut

Bab II UU No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 9 sampai dengan Pasal 48 menetapkan syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian tugas para pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Sekretaris. Kemandirian para hakim tersebut dilindungi.

Bab III UU No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP No.45/1957. UU No.7/1989 pula mencabut Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974. Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama. 

Bab IV UU No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 54 menyatakan Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.

Pasal 58 Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Pasal 61 yo. Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan Pengadilan Agama. Pasal 62 menetapkan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan alasan [dan] dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili'.

No comments:

Post a Comment